Artikel Pilihan
All Menu

Selamat Datang di Blog Gerakan Pemuda Ansor Cabang Trenggalek, Semoga bermanfaat dan membawa Berkah. Aamiin

Jumat, 24 Maret 2017

Sidoarjo : Persiapan Pelaksanaan Istighosah Akbar PWNU Jatim



Sidoarjo : Persiapan Pelaksanaan Istighosah Akbar PWNU Jatim

Unknown   at  Maret 24, 2017  No comments

Sidoarjo : Persiapan Pelaksanaan Istighosah Akbar PWNU Jatim



Baca Selengkapnya→

Indonesia memiliki banyak nama lain atau julukan sebagai negara besar. Hal ini menjadi wajar ketika Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman hayati dan latar belakang budaya yang kental. Bahkan sebelum nama “Indonesia” tercetus dan dijadikan sebagai nama resmi selama bertahun-tahun, Indonesia memiliki banyak julukan yang memiliki kisah historis tersendiri. Berikut nama-namanya
1. Indonesia
Awalnya, dasar penamaan Indonesia digunakan untuk penggunaan ilmiah, karena berasal dari perpaduan dari bahasa Latin dan Yunani. Kata Indus mengacu pada pulau-pulau di luar benua India. Sedangkan nesos berarti pulau.
Seorang akademisi pertama yang memperkenalkan nama “Indonesia” di seluruh dunia adalah James Richardson Logan di tahun 1850. Tepatnya di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Baru kemudian Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) menjadi sarjana Indonesia pertama yang memperkenalkan nama Indonesia dalam ranah politik.
2. Zamrud Khatulistiwa (The Emerald of Equator)
Bukan hanya karena terletak di garis khatulistiwa kemudian Indonesia mendapat julukan ini, tapi karena banyaknya gugusan pulau-pulau dan hutan hijau yang subur. Jika dilihat dari angkasa gugusan kepulauan Indonesia nan hijau menyejukan mata seperti batu Zamrud (emerald).
Letaknya yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa membuat Indonesia mendapatkan cahaya yang cukup untuk mendukung keanekaragaman hayati. Hingga kemudian, Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Hal ini dikemukakan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli), seorang penulis Belanda abad ke-19, untuk menggambarkan keindahan alam negara dalam salah satu suratnya.
3. Bumi Pertiwi atau Ibu Pertiwi
Ibu Pertiwi berasal dari bahasa Sansekerta pṛthvi atau juga pṛthivi, yang berarti dewi dalam agama Hindu atau Bumi dalam Bahasa Indonesia. Sebagai pṛthivi mata, Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia sebagai perwujudan tanah air, yang merujuk kepada negara dan tanah di mana orang-orang lahir. Secara harfiah tanah dan air merupakan ekspresi idiomatic untuk mengarah pada rumah atau tempat asal usul.
4. Nusantara
Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno yang diambil dari kisah Sumpah Palapa. Ini berawal saat Patih Gajah Mada dari abad ke-14 Kerajaan Majapahit bersumpah untuk tidak makan palapa (kelapa atau pala) sebelum mempersatukan Nusantara (kepulauan Indonesia) di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah ini bermakna bahwa sang Patih tidak akan bersenang-senang (diibaratkan tidak memakan makanan lezat) sebelum misi untuk memperluas daerah kekuasaan Majapahit terpenuhi.
Sumber : brillio

Julukan dan Nama Lain Indonesia beserta Asal-Usulnya

Unknown   at  Maret 24, 2017  No comments

Indonesia memiliki banyak nama lain atau julukan sebagai negara besar. Hal ini menjadi wajar ketika Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman hayati dan latar belakang budaya yang kental. Bahkan sebelum nama “Indonesia” tercetus dan dijadikan sebagai nama resmi selama bertahun-tahun, Indonesia memiliki banyak julukan yang memiliki kisah historis tersendiri. Berikut nama-namanya
1. Indonesia
Awalnya, dasar penamaan Indonesia digunakan untuk penggunaan ilmiah, karena berasal dari perpaduan dari bahasa Latin dan Yunani. Kata Indus mengacu pada pulau-pulau di luar benua India. Sedangkan nesos berarti pulau.
Seorang akademisi pertama yang memperkenalkan nama “Indonesia” di seluruh dunia adalah James Richardson Logan di tahun 1850. Tepatnya di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Baru kemudian Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) menjadi sarjana Indonesia pertama yang memperkenalkan nama Indonesia dalam ranah politik.
2. Zamrud Khatulistiwa (The Emerald of Equator)
Bukan hanya karena terletak di garis khatulistiwa kemudian Indonesia mendapat julukan ini, tapi karena banyaknya gugusan pulau-pulau dan hutan hijau yang subur. Jika dilihat dari angkasa gugusan kepulauan Indonesia nan hijau menyejukan mata seperti batu Zamrud (emerald).
Letaknya yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa membuat Indonesia mendapatkan cahaya yang cukup untuk mendukung keanekaragaman hayati. Hingga kemudian, Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa.
Hal ini dikemukakan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli), seorang penulis Belanda abad ke-19, untuk menggambarkan keindahan alam negara dalam salah satu suratnya.
3. Bumi Pertiwi atau Ibu Pertiwi
Ibu Pertiwi berasal dari bahasa Sansekerta pṛthvi atau juga pṛthivi, yang berarti dewi dalam agama Hindu atau Bumi dalam Bahasa Indonesia. Sebagai pṛthivi mata, Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia sebagai perwujudan tanah air, yang merujuk kepada negara dan tanah di mana orang-orang lahir. Secara harfiah tanah dan air merupakan ekspresi idiomatic untuk mengarah pada rumah atau tempat asal usul.
4. Nusantara
Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno yang diambil dari kisah Sumpah Palapa. Ini berawal saat Patih Gajah Mada dari abad ke-14 Kerajaan Majapahit bersumpah untuk tidak makan palapa (kelapa atau pala) sebelum mempersatukan Nusantara (kepulauan Indonesia) di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah ini bermakna bahwa sang Patih tidak akan bersenang-senang (diibaratkan tidak memakan makanan lezat) sebelum misi untuk memperluas daerah kekuasaan Majapahit terpenuhi.
Sumber : brillio
Baca Selengkapnya→


Ibn Jarir al-Thabari (wafat 310H) adalah ulama salaf yang bukan saja seorang ahli tafsir dan mujtahid, tapi juga seorang ahli sejarah. Mazhab fiqihnya sudah punah ditelan zaman, namun kitab Tafsir al-Thabari yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di dunia Islam sampai saat ini. 

Dalam bidang sejarah beliau menulis 11 jilid kitab Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (sejarah para rasul dan raja), yang lebih dikenal dengan Tarikh al-Thabari. Ini sebuah catatan berharga akan sejarah kekuasaan dalam dunia Islam. Sebelas jilid dalam bahasa Arab telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 40 jilid. Luar biasa! Sayangnya, tidak banyak di antara kita yang mau bersusah payah menelaah dokumen sejarah yang dicatat dengan detil dan teliti oleh Imam al-Thabari ini.

Mari kita buka jilid ke-10 halaman 54 . Ini kisah mengenai Khalifah Abbasiyah yang bernama al-Mu'tadhid Billah. Kita buka catatan al-Thabari pada tahun 284 H. Apa yang terjadi?


ذكر كتاب المعتضد فيشأن بني أمية
وتحدث الناس أن الكتاب الذي أمر المعتضد بإنشائه بلعن معاوية يقرأ بعد صلاة الجمعة على المنبر، فلما صلى الناس بادروا إلى المقصورة ليسمعوا قراءة الكتاب فلم يقرأ.
فذكر أن المعتضد أمر بإخراج الكتاب الذي كان المأمون أمر بإنشائه بلعن معاوية، فأخرج له من الديوان، فأخذ من جوامعه نسخة هذا الكتاب، وذكر أنها نسخة الكتاب الذي أنشىء للمعتضد بالله

Warga memberitakan bahwa dokumen yang melaknat Mu'awiyah atas perintah Khalifah al-Mu'tadhid akan dibacakan di masjid selepas shalat Jum'at. Beredarnya berita tersebut membuat warga selepas shalat jadi ragu mendengar pembacaan doa karena khawatir dokumen itu akan dibacakan, namun kenyataannya itu tidak dibacakan. Disebutkan bahwa Khalifah al-Mu'tadhid telah memerintahkan untuk mengeluarkan dokumen yang dibuat di masa Khalifah Ma'mun yang melaknat Mu'awiyah. Perintah ini telah dilaksanakan. Sinopsis dari arsip lama itulah yang kemudian dijadikan materi untuk menyusun dokumen yang disampaikan kepada Khalifah al-Mu'tadhid.

Imam al-Thabari kemudian mencantumkan dokumen tersebut (sekitar 7 halaman) dalam kitab Tarikh-nya ini. Terlalu panjang kalau saya cantumkan semuanya di sini. Konteksnya adalah Mu'awiyah, Yazid dan Marwan yang menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dilaknat dan dicaci-maki oleh para Khalifah Abbasiyah. Perpindahan kekuasaan dua dinasti Islam ini juga memakan korban jiwa yang tak sedikit. 

Saat Dinasti Umayyah berkuasa mimbar Jum'at dikabarkan dipenuhi cacian akan Imam Ali bin Abi Thalib. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dari dinasti Umayyah tradisi buruk itu dihentikan. Nah, di masa Khalifah al-Mu'tadhid (dinasti Abbasiyah) ancaman dari sisa-sisa keturunan dan pasukan Umayyah masih ada. Maka al-Mu'tadhid menggunakan tangan besi untuk melawan mereka, termasuk dengan menggunakan ayat dan hadits untuk melaknat pendiri dinasti Umayyah di atas.

Dalam dokumen yang dikutip Imam al-Thabari jelas tergambar politisasi agama demi mempertahankan kekuasaan. Sejumlah ayat dikutip seperti QS al-Isra ayat 60 yang menyebut pohon yang terkutuk, lantas oleh dokumen itu dikatakan bahwa tidak ada pertentangan maksudnya itu adalah Bani Umayyah. Kemudian mengutip riwayat yang mereka klaim dari Nabi ketika melihat Abu Sufyan naik keledai bersama Mu'awiyah dan Yazid, lantas Nabi berkata: "Allah melaknat pemimpin, yang menaiki dan yang mengendarai kuda" [maksudnya ketiga orang ini semua kena laknat oleh Nabi].


‎فمما لعنهم الله به على لسان نبيه ص، وانزل به كتابا قوله:
»‎وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَما يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْياناً كَبِيراً » ولا اختلاف بين أحد انه أراد بها بني أمية. ومنه قول الرسول عليه السلام وقد رآه مقبلاً على حمار ومعاوية يقود به ويزيد ابنه يسوق به: لعن الله القائد والراكب والسائق.

Imam al-Thabari sebagai ahli tafsir tentu paham bahwa tafsiran di atas keliru. Begitu juga kutipan hadits bertentangan dengan fakta bahwa Yazid bin Mu'awiyah lahir setelah Nabi wafat, jadi tidak mungkin Nabi melihatnya naik kuda bersama kakek (Abu Sufyan) dan bapaknya (Mu'awiyah). Kutipan hadits bertebaran di dokumen ini mengenai kejelekan Abu Sufyan, Mu'awiyah dan juga Marwan. 


‎ومنه ما انزل الله على نبيه في سوره القدر: «لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ» ، من ملك بنى اميه [ومنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دعا بمعاويه ليكتب بامره بين يديه، فدافع بامره، واعتل بطعامه، فقال النبي: لا اشبع الله بطنه، فبقى لا يشبع،] ويقول: والله ما اترك الطعام شبعا، ولكن اعياء [ومنه ان رسول الله ص قال: يطلع من هذا الفج رجل من امتى يحشر على غير ملتي، فطلع معاويه] [ومنه ان رسول الله ص، قال: إذا رايتم معاويه على منبري فاقتلوه

Dikabarkan bagaimana Nabi mendoakan Mu'awiyah agar perutnya tidak pernah kenyang, karena dua kali dipanggil menghadap Nabi, Mu'awiyah menolak karena sedang asyik makan. Atau dicantumkan riwayat lain seolah Nabi pernah bersabda: "jikalau engkau melihat Mu'awiyah berdiri di mimbarku, bunuhlah dia." 

Tafsiran lain disampaikan mengenai lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Maksudnya menurut dokumen ini, lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan kekuasaan Umayyah. Kebetulan memang masa 90 tahun kekuasaan Umayyah itu sama dengan masa hitungan seribu bulan. Tapi apa hubungannya ayat lailatul qadar dengan masa kekuasaan Bani Umayyah? Pesan terselubungnya adalah umat jangan silau dengan panjangnya kekuasaan Umayyah. Nyambung atau enggak, ya itu urusan lain.


ومنه الحديث المرفوع المشهور أنه قال: " إن معاوية في تابوت من نار في أسفل درك منها ينادي: يا حنان يا منان، الآن وقد عصيت قبل وكنت كن المفسدين.

Bahkan dokumen ini juga mengklaim adanya hadits marfu' yang menyatakan Mu'awiyah akan berada di neraka paling bawah memanggil-manggil Allah: "Ya Hanan, Ya Manan" namun diberi jawaban "Nah sekarang [kamu percaya padaKu], sebelumnya kamu telah membuat kerusakan".

Dokumen yang penuh caci-maki terhadap lawan politik dengan mencantumkan penafsiran ayat dan riwayat yang diklaim berasal dari Nabi itu ditandatangani oleh Menteri Utama (Wazir) yaitu Abul Qasim Ubaidillah bin Sulayman. Sebelum diakhiri dokumen ini mencantumkan doa semoga Allah melaknat Abu Sufyan, Mu'awiyah, Yazid, Marwan dan anak keturunan mereka. Jadi bukan cuma Nabi, bahkan Allah pun mereka bawa-bawa untuk menyerang lawan politiknya.

Membaca dokumen yang dicantumkan Imam al-Thabari ini saya bergidik ngeri bagaimana efek kebencian yang sudah sampai pada puncaknya dan agama pun sudah dipolitisasi sedemikian rupa. Ternyata pelintirisasi dan politisasi ayat-hadits sudah berlangsung sejak lama. Inilah yang terjadi ketika kekuasaan berselingkuh dengan agama. Na'udzubillah min dzalik.

Saya pun teringat puisi panutan saya al-Mukarram KH A Mustofa Bisri yang bikin air mata meleleh:

...
Di mana-mana sesama saudara 
Saling cakar berebut benar 
Sambil terus berbuat kesalahan 
Qur'an dan sabdamu hanyalah kendaraan 
Masing-masing mereka yang berkepentingan 
Aku pun meninggalkan mereka 
Mencoba mencarimu dalam sepi rinduku 
Aku merindukanmu, O, Muhammadku 
.....


Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Sumber : NU Online

Politisasi Ayat dan Hadits dalam Sejarah Islam

Unknown   at  Maret 24, 2017  No comments


Ibn Jarir al-Thabari (wafat 310H) adalah ulama salaf yang bukan saja seorang ahli tafsir dan mujtahid, tapi juga seorang ahli sejarah. Mazhab fiqihnya sudah punah ditelan zaman, namun kitab Tafsir al-Thabari yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di dunia Islam sampai saat ini. 

Dalam bidang sejarah beliau menulis 11 jilid kitab Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (sejarah para rasul dan raja), yang lebih dikenal dengan Tarikh al-Thabari. Ini sebuah catatan berharga akan sejarah kekuasaan dalam dunia Islam. Sebelas jilid dalam bahasa Arab telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 40 jilid. Luar biasa! Sayangnya, tidak banyak di antara kita yang mau bersusah payah menelaah dokumen sejarah yang dicatat dengan detil dan teliti oleh Imam al-Thabari ini.

Mari kita buka jilid ke-10 halaman 54 . Ini kisah mengenai Khalifah Abbasiyah yang bernama al-Mu'tadhid Billah. Kita buka catatan al-Thabari pada tahun 284 H. Apa yang terjadi?


ذكر كتاب المعتضد فيشأن بني أمية
وتحدث الناس أن الكتاب الذي أمر المعتضد بإنشائه بلعن معاوية يقرأ بعد صلاة الجمعة على المنبر، فلما صلى الناس بادروا إلى المقصورة ليسمعوا قراءة الكتاب فلم يقرأ.
فذكر أن المعتضد أمر بإخراج الكتاب الذي كان المأمون أمر بإنشائه بلعن معاوية، فأخرج له من الديوان، فأخذ من جوامعه نسخة هذا الكتاب، وذكر أنها نسخة الكتاب الذي أنشىء للمعتضد بالله

Warga memberitakan bahwa dokumen yang melaknat Mu'awiyah atas perintah Khalifah al-Mu'tadhid akan dibacakan di masjid selepas shalat Jum'at. Beredarnya berita tersebut membuat warga selepas shalat jadi ragu mendengar pembacaan doa karena khawatir dokumen itu akan dibacakan, namun kenyataannya itu tidak dibacakan. Disebutkan bahwa Khalifah al-Mu'tadhid telah memerintahkan untuk mengeluarkan dokumen yang dibuat di masa Khalifah Ma'mun yang melaknat Mu'awiyah. Perintah ini telah dilaksanakan. Sinopsis dari arsip lama itulah yang kemudian dijadikan materi untuk menyusun dokumen yang disampaikan kepada Khalifah al-Mu'tadhid.

Imam al-Thabari kemudian mencantumkan dokumen tersebut (sekitar 7 halaman) dalam kitab Tarikh-nya ini. Terlalu panjang kalau saya cantumkan semuanya di sini. Konteksnya adalah Mu'awiyah, Yazid dan Marwan yang menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dilaknat dan dicaci-maki oleh para Khalifah Abbasiyah. Perpindahan kekuasaan dua dinasti Islam ini juga memakan korban jiwa yang tak sedikit. 

Saat Dinasti Umayyah berkuasa mimbar Jum'at dikabarkan dipenuhi cacian akan Imam Ali bin Abi Thalib. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dari dinasti Umayyah tradisi buruk itu dihentikan. Nah, di masa Khalifah al-Mu'tadhid (dinasti Abbasiyah) ancaman dari sisa-sisa keturunan dan pasukan Umayyah masih ada. Maka al-Mu'tadhid menggunakan tangan besi untuk melawan mereka, termasuk dengan menggunakan ayat dan hadits untuk melaknat pendiri dinasti Umayyah di atas.

Dalam dokumen yang dikutip Imam al-Thabari jelas tergambar politisasi agama demi mempertahankan kekuasaan. Sejumlah ayat dikutip seperti QS al-Isra ayat 60 yang menyebut pohon yang terkutuk, lantas oleh dokumen itu dikatakan bahwa tidak ada pertentangan maksudnya itu adalah Bani Umayyah. Kemudian mengutip riwayat yang mereka klaim dari Nabi ketika melihat Abu Sufyan naik keledai bersama Mu'awiyah dan Yazid, lantas Nabi berkata: "Allah melaknat pemimpin, yang menaiki dan yang mengendarai kuda" [maksudnya ketiga orang ini semua kena laknat oleh Nabi].


‎فمما لعنهم الله به على لسان نبيه ص، وانزل به كتابا قوله:
»‎وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَما يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْياناً كَبِيراً » ولا اختلاف بين أحد انه أراد بها بني أمية. ومنه قول الرسول عليه السلام وقد رآه مقبلاً على حمار ومعاوية يقود به ويزيد ابنه يسوق به: لعن الله القائد والراكب والسائق.

Imam al-Thabari sebagai ahli tafsir tentu paham bahwa tafsiran di atas keliru. Begitu juga kutipan hadits bertentangan dengan fakta bahwa Yazid bin Mu'awiyah lahir setelah Nabi wafat, jadi tidak mungkin Nabi melihatnya naik kuda bersama kakek (Abu Sufyan) dan bapaknya (Mu'awiyah). Kutipan hadits bertebaran di dokumen ini mengenai kejelekan Abu Sufyan, Mu'awiyah dan juga Marwan. 


‎ومنه ما انزل الله على نبيه في سوره القدر: «لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ» ، من ملك بنى اميه [ومنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دعا بمعاويه ليكتب بامره بين يديه، فدافع بامره، واعتل بطعامه، فقال النبي: لا اشبع الله بطنه، فبقى لا يشبع،] ويقول: والله ما اترك الطعام شبعا، ولكن اعياء [ومنه ان رسول الله ص قال: يطلع من هذا الفج رجل من امتى يحشر على غير ملتي، فطلع معاويه] [ومنه ان رسول الله ص، قال: إذا رايتم معاويه على منبري فاقتلوه

Dikabarkan bagaimana Nabi mendoakan Mu'awiyah agar perutnya tidak pernah kenyang, karena dua kali dipanggil menghadap Nabi, Mu'awiyah menolak karena sedang asyik makan. Atau dicantumkan riwayat lain seolah Nabi pernah bersabda: "jikalau engkau melihat Mu'awiyah berdiri di mimbarku, bunuhlah dia." 

Tafsiran lain disampaikan mengenai lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Maksudnya menurut dokumen ini, lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan kekuasaan Umayyah. Kebetulan memang masa 90 tahun kekuasaan Umayyah itu sama dengan masa hitungan seribu bulan. Tapi apa hubungannya ayat lailatul qadar dengan masa kekuasaan Bani Umayyah? Pesan terselubungnya adalah umat jangan silau dengan panjangnya kekuasaan Umayyah. Nyambung atau enggak, ya itu urusan lain.


ومنه الحديث المرفوع المشهور أنه قال: " إن معاوية في تابوت من نار في أسفل درك منها ينادي: يا حنان يا منان، الآن وقد عصيت قبل وكنت كن المفسدين.

Bahkan dokumen ini juga mengklaim adanya hadits marfu' yang menyatakan Mu'awiyah akan berada di neraka paling bawah memanggil-manggil Allah: "Ya Hanan, Ya Manan" namun diberi jawaban "Nah sekarang [kamu percaya padaKu], sebelumnya kamu telah membuat kerusakan".

Dokumen yang penuh caci-maki terhadap lawan politik dengan mencantumkan penafsiran ayat dan riwayat yang diklaim berasal dari Nabi itu ditandatangani oleh Menteri Utama (Wazir) yaitu Abul Qasim Ubaidillah bin Sulayman. Sebelum diakhiri dokumen ini mencantumkan doa semoga Allah melaknat Abu Sufyan, Mu'awiyah, Yazid, Marwan dan anak keturunan mereka. Jadi bukan cuma Nabi, bahkan Allah pun mereka bawa-bawa untuk menyerang lawan politiknya.

Membaca dokumen yang dicantumkan Imam al-Thabari ini saya bergidik ngeri bagaimana efek kebencian yang sudah sampai pada puncaknya dan agama pun sudah dipolitisasi sedemikian rupa. Ternyata pelintirisasi dan politisasi ayat-hadits sudah berlangsung sejak lama. Inilah yang terjadi ketika kekuasaan berselingkuh dengan agama. Na'udzubillah min dzalik.

Saya pun teringat puisi panutan saya al-Mukarram KH A Mustofa Bisri yang bikin air mata meleleh:

...
Di mana-mana sesama saudara 
Saling cakar berebut benar 
Sambil terus berbuat kesalahan 
Qur'an dan sabdamu hanyalah kendaraan 
Masing-masing mereka yang berkepentingan 
Aku pun meninggalkan mereka 
Mencoba mencarimu dalam sepi rinduku 
Aku merindukanmu, O, Muhammadku 
.....


Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Sumber : NU Online
Baca Selengkapnya→

Oleh : Ahmad Ishomuddin

Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasehat hukum bapak BTP (Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan kepadanya. Penasehat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan para JPU (Jaksa Penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.

Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi resiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dulu saya tidak pernah memintanya, yakni baik sebagai Rais Syuriah PBNU (periode 2010-2015 dan 2015-2020) maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu. Sebab, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus pak BTP (Ahok). Sebagian umat yakin ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan Qs. al-Maidah ayat 51.

Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat.

Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan. Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main hakim sendiri di negara hukum.

Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu. Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kyai saya di berbagai pondok pesantren.

Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata 2 konsentrasi Syari'ah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal menyusun disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang menyebut saya Doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya, sebagaimana saat orang menyebut saya haji, karena benar saya belum haji. Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa bahwa saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik. Saya yakin sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah diberikan oleh Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan, gelar panggilan kyai haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya. Saya berusaha menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kyai sepuh.

Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur, tanpa sedikitpun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun para para Jaksa Penuntut Umum (JPU). Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para Penasehat Hukum bersifat meringankannya, selanjutnya nanti majelis hakimlah yang akan memutuskannya. Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa tabayyun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan. Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs. al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat. Kata " awliya' " yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer.

Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya. Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun (klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.

Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan al-Qur'an dan Ulama. Padahal dalam al-Qur'an diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.

Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan Ketua Umum MUI (KH. Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU (KH. Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu, maka itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja. Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kyai besar tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap tawadlu' (rendah hati) sepanjang hayat.

Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta'ala. Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah dan apa saja yang menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini. Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan, betapa pun pahitnya.

Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin), dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu.


TABAYYUN SETELAH SIDANG KE-15 KASUS PENODAAN AGAMA

Unknown   at  Maret 24, 2017  No comments

Oleh : Ahmad Ishomuddin

Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasehat hukum bapak BTP (Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan kepadanya. Penasehat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan para JPU (Jaksa Penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.

Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi resiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dulu saya tidak pernah memintanya, yakni baik sebagai Rais Syuriah PBNU (periode 2010-2015 dan 2015-2020) maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu. Sebab, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus pak BTP (Ahok). Sebagian umat yakin ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan Qs. al-Maidah ayat 51.

Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat.

Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan. Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main hakim sendiri di negara hukum.

Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu. Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kyai saya di berbagai pondok pesantren.

Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata 2 konsentrasi Syari'ah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal menyusun disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang menyebut saya Doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya, sebagaimana saat orang menyebut saya haji, karena benar saya belum haji. Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa bahwa saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik. Saya yakin sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah diberikan oleh Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan, gelar panggilan kyai haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya. Saya berusaha menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kyai sepuh.

Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur, tanpa sedikitpun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun para para Jaksa Penuntut Umum (JPU). Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para Penasehat Hukum bersifat meringankannya, selanjutnya nanti majelis hakimlah yang akan memutuskannya. Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa tabayyun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan. Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs. al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat. Kata " awliya' " yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer.

Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya. Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun (klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.

Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan al-Qur'an dan Ulama. Padahal dalam al-Qur'an diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.

Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan Ketua Umum MUI (KH. Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU (KH. Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu, maka itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja. Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kyai besar tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap tawadlu' (rendah hati) sepanjang hayat.

Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta'ala. Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah dan apa saja yang menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini. Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan, betapa pun pahitnya.

Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin), dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu.


Baca Selengkapnya→

Kamis, 23 Maret 2017

BanserNews ~ Panggul, 24 Maret 2017 Satkoryon Banser Panggul mengadakan kegiatan Bhakti Sosial. Sasaran kegiatan ini adalah Pembangunan Mushola yang berada di Dusun Nanggungan, Desa Kertosono, Kecamatan Panggul. 


Anggota Banser yang terlibat dalam bhakti sosial ini adalah anggota Banser yang berasal dari Satkorkel Tangkil, Manggis, Sawahan dan Kertosono. Sekitar 50 anggota Banser "Guyub Rukun" bekerjasama dalam pembangunan mushola yang berlokasi di Dusun Nanggungan tersebut.


Kegiatan ini rutin dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ansor dan Satkoryon Banser Panggul sebagai upaya pengabdian terhadap masyarakat dan bhakti untuk negeri. (Author : Myanto)




Kontributor : Gus Imam Wardy

BHAKTI SOSIAL ~ Satkoryon Banser Panggul

Unknown   at  Maret 23, 2017  No comments

BanserNews ~ Panggul, 24 Maret 2017 Satkoryon Banser Panggul mengadakan kegiatan Bhakti Sosial. Sasaran kegiatan ini adalah Pembangunan Mushola yang berada di Dusun Nanggungan, Desa Kertosono, Kecamatan Panggul. 


Anggota Banser yang terlibat dalam bhakti sosial ini adalah anggota Banser yang berasal dari Satkorkel Tangkil, Manggis, Sawahan dan Kertosono. Sekitar 50 anggota Banser "Guyub Rukun" bekerjasama dalam pembangunan mushola yang berlokasi di Dusun Nanggungan tersebut.


Kegiatan ini rutin dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ansor dan Satkoryon Banser Panggul sebagai upaya pengabdian terhadap masyarakat dan bhakti untuk negeri. (Author : Myanto)




Kontributor : Gus Imam Wardy
Baca Selengkapnya→

BanserNews ~ Pringapus, 24 Maret 2017 Satuan Koordinasi Rayon Barisan Ansor Serbaguna (Satkoryon Banser) Dongko Kabupaten Trenggalek mengadakan kegiatan Bhakti Sosial. Kegiatan ini menitik fokuskan pada kegiatan "BEDAH RUMAH" salah satu warga yang berada di Desa Pringapus Kecamatan Dongko. 

Hal ini dikandung maksud sebagai upaya Banser untuk peduli sesama dan bhakti negeri. Selain daripada itu, adalah sebagai Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari kegiatan Diklatsar VIII yang dilaksanakan pada tanggal 17-19 Maret 2017 kemarin.

Kegiatan Bedah Rumah pada hari ini (Jum'at; red) berlokasi di Dusun Dawung Desa Pringapus yang merupakan rumah salah satu warga masyarakat setempat. Beliau adalah Mbah Paikem, seorang perempuan lanjut usia dan salah satu keluarga kurang mampu yang ada di Desa Pringapus. 

Unsut/Komponen yang terlibat pada kegiatan Bedah Rumah meliputi; Gerakan Pemuda Ansor dan Banser Anak Cabang Dongko, BAZNAS Trenggalek, Komunitas Peduli Sesama, Polsek Dongko, Koramil Dongko,Pemerintah Desa Pringapus dan masyarakat sekitar.

Adapun rinciannya personel setiap unsur yang terlibat adalah :
40 anggota Ansor/Banser, 30 anggota Komunitas Peduli Sesama, 10 anggota Polsek Dongko, 10 anggota Koramil Dongko, 10 pejabat Pemerintah Desa Prigapus dan 20 warga masyarakat sekitar.

Direncanakan peletakan batu pertama dilakukan secara Simbolis oleh Bapak Wakil Bupati Trenggalek dan Ketua BAZNAS Kabupaten Trenggalek. (Author : Myanto)


Kontributor : Imam Ropingi, S.Pd.I (Ketua PAC GP Ansor Dongko)

Foto/Dokumentasi selengkapnya dapat dilihat DISINI!

BEDAH RUMAH ~ Satkoryon Banser Dongko

Unknown   at  Maret 23, 2017  No comments

BanserNews ~ Pringapus, 24 Maret 2017 Satuan Koordinasi Rayon Barisan Ansor Serbaguna (Satkoryon Banser) Dongko Kabupaten Trenggalek mengadakan kegiatan Bhakti Sosial. Kegiatan ini menitik fokuskan pada kegiatan "BEDAH RUMAH" salah satu warga yang berada di Desa Pringapus Kecamatan Dongko. 

Hal ini dikandung maksud sebagai upaya Banser untuk peduli sesama dan bhakti negeri. Selain daripada itu, adalah sebagai Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari kegiatan Diklatsar VIII yang dilaksanakan pada tanggal 17-19 Maret 2017 kemarin.

Kegiatan Bedah Rumah pada hari ini (Jum'at; red) berlokasi di Dusun Dawung Desa Pringapus yang merupakan rumah salah satu warga masyarakat setempat. Beliau adalah Mbah Paikem, seorang perempuan lanjut usia dan salah satu keluarga kurang mampu yang ada di Desa Pringapus. 

Unsut/Komponen yang terlibat pada kegiatan Bedah Rumah meliputi; Gerakan Pemuda Ansor dan Banser Anak Cabang Dongko, BAZNAS Trenggalek, Komunitas Peduli Sesama, Polsek Dongko, Koramil Dongko,Pemerintah Desa Pringapus dan masyarakat sekitar.

Adapun rinciannya personel setiap unsur yang terlibat adalah :
40 anggota Ansor/Banser, 30 anggota Komunitas Peduli Sesama, 10 anggota Polsek Dongko, 10 anggota Koramil Dongko, 10 pejabat Pemerintah Desa Prigapus dan 20 warga masyarakat sekitar.

Direncanakan peletakan batu pertama dilakukan secara Simbolis oleh Bapak Wakil Bupati Trenggalek dan Ketua BAZNAS Kabupaten Trenggalek. (Author : Myanto)


Kontributor : Imam Ropingi, S.Pd.I (Ketua PAC GP Ansor Dongko)

Foto/Dokumentasi selengkapnya dapat dilihat DISINI!
Baca Selengkapnya→

Ada seorang lelaki yang dikenal saleh di sebuah kampung. Dia memiliki seekor anjing, seekor keledai, dan seekor ayam jantan. Manfaat tiga ekor hewan tersebut dirasakan betul oleh segenap warga desa tersebut. Sang ayam jantan senantiasa membangunkan warga desa di waktu pagi untuk shalat. Keledai membantu mengangkut air membawa sampai perkampungan penduduk. Dan si anjing bertugas menjaga keamanan warga desa.

Hingga pada suatu hari datanglah seekor rubah memangsa si ayam jago. Warga desa pun bersedih atas tragedi ini. Tapi lelaki shaleh pemilik hewan hanya berkata, “Barangkali peristiwa ini ada sisi baiknya (‘asâ an yakûna khairan).”

Beberapa waktu kemudian datang lagi seekor serigala dan mencabik-cabik perut si keledai hingga mati. Menyaksikan hal ini penduduk desa kembali dirundung kesedihan. Namun pemuda shaleh kembali berkata, "Semoga kejadian ini mengandung kebaikan."

Tak lama dari peristiwa itu musibah juga menimpa seekor anjing yang membawa pada kematiannya. Tapi lelaki shaleh tersebut tetap berkata, "Barangkali musibah ini ada sisi baiknya".

Pascaaneka peristiwa tersebut pada suatu pagi warga desa menyaksikan orang-orang dari penduduk desa sekitar mereka ditawan oleh segerombolan penyamun. Hanya warga desa di mana lelaki saleh itu bermukim yang selamat tidak ditangkap.

Kenapa mereka ditangkap? Sebuah kabar menyebutkan, kerena terdengar dari desa tetangga itu suara anjing, keledai, dan ayam jago.

Begitulah keselamatan warga desa di atas disebabkan matinya hewan-hewan itu sebagaimana ketentuan yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wata‘ala. Terkadang, apa yang kita sedihkan memuat sisi baik lain yang belum kita ketahui. 

Jadi barangsiapa mengetahui rahasia tersembunyi di balik halusnya takdir Allah, maka ia akan bisa ridho/rela dengan tindakan-Nya dalam keadaan apa pun. (M. Haromain)


Cerita ini disarikan dari kitab Ihya’ Ulumid Din karya Imam Al-Ghazali, Juz 4



Sumber : NU Online

Lelaki Shaleh dan Musibah Yang Membawa Berkah

Unknown   at  Maret 23, 2017  No comments

Ada seorang lelaki yang dikenal saleh di sebuah kampung. Dia memiliki seekor anjing, seekor keledai, dan seekor ayam jantan. Manfaat tiga ekor hewan tersebut dirasakan betul oleh segenap warga desa tersebut. Sang ayam jantan senantiasa membangunkan warga desa di waktu pagi untuk shalat. Keledai membantu mengangkut air membawa sampai perkampungan penduduk. Dan si anjing bertugas menjaga keamanan warga desa.

Hingga pada suatu hari datanglah seekor rubah memangsa si ayam jago. Warga desa pun bersedih atas tragedi ini. Tapi lelaki shaleh pemilik hewan hanya berkata, “Barangkali peristiwa ini ada sisi baiknya (‘asâ an yakûna khairan).”

Beberapa waktu kemudian datang lagi seekor serigala dan mencabik-cabik perut si keledai hingga mati. Menyaksikan hal ini penduduk desa kembali dirundung kesedihan. Namun pemuda shaleh kembali berkata, "Semoga kejadian ini mengandung kebaikan."

Tak lama dari peristiwa itu musibah juga menimpa seekor anjing yang membawa pada kematiannya. Tapi lelaki shaleh tersebut tetap berkata, "Barangkali musibah ini ada sisi baiknya".

Pascaaneka peristiwa tersebut pada suatu pagi warga desa menyaksikan orang-orang dari penduduk desa sekitar mereka ditawan oleh segerombolan penyamun. Hanya warga desa di mana lelaki saleh itu bermukim yang selamat tidak ditangkap.

Kenapa mereka ditangkap? Sebuah kabar menyebutkan, kerena terdengar dari desa tetangga itu suara anjing, keledai, dan ayam jago.

Begitulah keselamatan warga desa di atas disebabkan matinya hewan-hewan itu sebagaimana ketentuan yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wata‘ala. Terkadang, apa yang kita sedihkan memuat sisi baik lain yang belum kita ketahui. 

Jadi barangsiapa mengetahui rahasia tersembunyi di balik halusnya takdir Allah, maka ia akan bisa ridho/rela dengan tindakan-Nya dalam keadaan apa pun. (M. Haromain)


Cerita ini disarikan dari kitab Ihya’ Ulumid Din karya Imam Al-Ghazali, Juz 4



Sumber : NU Online
Baca Selengkapnya→

Filantropi atau kedermawanan sudah menjadi roh dari kebangkitan ulama yang lahir sejak 1926, dengan nama Nahdlatul Ulama. Perjalanan ormas Islam terbesar di dunia ini dibiayai oleh kedermawanan dari para anggota atau simpatisan Nahdliyin. Kedermawanan yang dalam istilah Islam disebut dengan zakat, infak, atau sedekah, menjadi kekuatan penunjang prinsip pokok dalam perjuangan Nahdlatul Ulama.

Zakat sebagai rukun Islam dan tiang dalam agama Islam mempunyai peran yang sangat vital. Islam dan perjuangan para pengggerak Islam akan kuat jika kedermawanan masih dijalankan oleh para pemeluknya. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an tentang sinergi antara rukun shalat dan zakat dalam mengatasi persoalan hidup. Zakat dan shalat menjadi tawaran solusi dahsyat  yang Allah berikan kepada hambanya. Zakat sebagai penjaga hubungan dengan manusia dan shalat sebagai penjaga hubungan dengan Allah secara vertikal.

Perjalanan filantropi Islam di Nahdlatul Ulama secara konsisten didakwahkan dan disosialisasikan dan ini menjadi komitmen semua warga Nahdliyin dalam memeluk ajaran Islam sampai sekarang. Kebangkitan zakat dan gairah perzakatan di Indonesia pun tumbuh. Atas dasar Undang-Undang Zakat nomor 38 tahun 1999, lembaga amil zakat, infak dan sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dibentuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Donoyudan Solo tahun 2005. Dari situ perkembangan filantropi Islam di tubuh Nahdlatul Ulama juga mengalami perkembangan yang menggembirakan.

Perjalanan lembaga filantropi di Nahdlatul Ulama yang dinamakan LembagaAmil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) mengalami perkembangan dari waktu ke waktu semenjak didirikan secara resmi di Muktamar Donoyudan Solo, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Fathurrahman Rouf. Sebagai lembaga baru di tubuh Nahdlatul Ulama, LAZISNU sudah mengumpulkan rata-rata Rp800 juta per tahun, dari tahun 2004 sampai dengan 2010.

Perkembangan mulai dirasakan ketika fase kedua setelah Muktamar di Makassar, LAZISNU dipimpin oleh KH. Masyhuri Malik, pada perkembangan di era ini LAZISNU berkembang dengan performa manajemen yang lebih modern. Potret yang bisa kita lihat dari perolehan LAZISNU setiap tahunnya di rata-rata Rp6 miliar dimulai dari 2010 sampai dengan 2015.

Kemudian selepas Muktamar ke-33 NU di Jombang, LAZISNU dipimpin oleh Syamsul Huda SH Harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat karena beban yang harus ditanggung sebagai Lembaga Zakat Nasional. Lembaga Zakat Nasional seperti LAZISNU harus mampu mengumpulkan perolehan fundraising minimal Rp50 miliar. Tapi alhamdulillah pada awal 2016, beban yang diwajibkan kepada LAZISNU dalam perolehan minimal satu tahun Rp50 miliar sudah terpenuhi. Sekarang, saatnya LAZISNU yang melakukan rebranding NU CARE-LAZISNU harus mengerakkan spirit NU dalam kesadaran “berbagi bagi sesama.”

Sosialisasi tentang pentingnya filantropi selalu digalakkan sampai sekarang. Filantropi berbeda dari charity. Filantropi lebih terlihat sebagai gagasan yang terstruktur dan teratur ketimbang hanya memberi kepada yang lain dan terlebih kepengen mendapatkan dampak secara langsung bagi para donatur (direct impact). 

Secara umum, konsep zakat itu harus diatur supaya teratur. Nidham (manajemen) menjadi hal yang sangat penting di warga Nahdliyin. “Kalau sudah ngasih ya sudah yang lillahita’ala,” sering ada ucapan begitu. Ini seolah-olah melegitimasi tentang tidak penting melaporkan akan kinerja yang dilakukan oleh para amilin. Padahal, pelaporan tersebut sama sekali bukan hendak menghilangkan aspek keikhlasan, melainkan sebagai konsekuensi logis nidham itu.

Kini LAZISNU diuji dan ditantang dengan harus menunjukkan keberanian untuk menjadi Lembaga Zakat Nasional, berdasar Undang-Undang 23 tahun 2011. Sesungguhnya, Undang-Undang 23 tahun 2011 ada plus dan minus dalam era kebangkitan gerakan filantropi NU. Tuntutan untuk eksis menjadi lembaga yang trusted, kredibel, dan tranparan menjadi tuntutan tidak hanyaUndang-Undang, tapi juga para donatur dan masyarakat. Pimpinan organisasi para ulama ini, Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin menggelorakan “Gerakan NU Berzakat Menuju Kemandirian Umat”. Ini bukan tidak ada sebab, tapi gerakan ini justru yang menjadi embrio dan spirit bagi gerakan zakat di warga Nahdliyin.

Tiga Titik Tolak

Ada tiga hal yang harus menjadi titik tolak bangkitnya filatropi NU, pertama adalah memberikan pengertian kepada masyarakat Nahdliyin tentang pentingnya berjamaah, tidak hanya berjamaah shalat, tahlilan, zikiran saja tapi harus diperluas dan diperlebar jamaah terlebih berjamaah untuk aksi berbagi kepada sesama. Masyarakat modern ini lebih suka kalau ada kegiatan aksi, bukan hanya kegiatan seremoni. Membangkitkan jamaah dengan aksi kepada sesama ini harus menjadi spirit yang digelorakan di  warga Nahdliyin. Berjamaah atau sinergi ini akan mejadi lebih sempurna jika ulama, umara (pemerintah), aghniya (kalangan berpunya) dan umat menjadi satu kesatuan dalam menyelesaikan masalah bersama terlebih isu yang menjadi pesan utama Muktamar Jombang, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Kedua, adalah pentingnya manajemen yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pentingnya manajemen ini yang kemudian Lazisnu Pusat berinisiatif untuk menstandarkan manajemen dengan menggunakan ISO 9001-2015 dengan nomor sertifikat izin 49224. Ini membuktikan komitmen yang tinggi terhadap kebangkitan filantropi di NU untuk menjadi yang lebih baik dalam rangka mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Betapa pentingnya motto “kerjakan apa yang ditulis, dan tulis apa yang akan dikerjakan,” itulah manajemen. Semua harus berbasis data, bukan hanya katanya atau ucapan mulut. 

Ketiga, pergerakannya harus dibangkitkan lagi, harakah an-nahdliyyah lizzakah, itulah gerakan yang dimotori Rais ‘Aam PBNU, supaya komitmen membangun NU lewat jalur filantropi menjadi lebih hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita mulia para pendiri NU. Pelopor sekaligus model percontohan yang di gerakkan almarhum Abuya KH. Abdul Basit Sukabumi menjadi contoh yang patut di tiru dan diteladani. Abuya mampu membuat konsep Allah yang termaktub didalam Al Qur’an dan Hadist Baginda Nabi Muhammad SAW menjadi membumi dan gampang di kerjakan dan diaplikasina umat dalam kehidupan sehari-hari. Kekuatan sedekah mampu memberikan manfaat kepada umat dengan pola yang sangat sederhana dan bisa di aplikasikan di mana saja kita berapa. Konsep membumikan sedekah merupakan konsep lama yang dalam Bahasa sederhana kita sehari-hari kita sebut denga  konsep gotong royong. Sedekah atau gotong royong menjadi mahluk mulia yang mampu memberikan manfaat bagi umat jika dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong (sedekah berjamaah). 

Semoga Allah memberikan kekuatan dan keberkahan NU Care-LAZISNU dalam memegang amanat yang mulia untuk memberikan manfaat kepada umat. Amiin.


Penulis adalah Direktur Fundraising NU Care



Sumber : NU Online

NU Care Dan Kebangkitan Gerakan Filantropi Nahdliyin

Unknown   at  Maret 23, 2017  No comments

Filantropi atau kedermawanan sudah menjadi roh dari kebangkitan ulama yang lahir sejak 1926, dengan nama Nahdlatul Ulama. Perjalanan ormas Islam terbesar di dunia ini dibiayai oleh kedermawanan dari para anggota atau simpatisan Nahdliyin. Kedermawanan yang dalam istilah Islam disebut dengan zakat, infak, atau sedekah, menjadi kekuatan penunjang prinsip pokok dalam perjuangan Nahdlatul Ulama.

Zakat sebagai rukun Islam dan tiang dalam agama Islam mempunyai peran yang sangat vital. Islam dan perjuangan para pengggerak Islam akan kuat jika kedermawanan masih dijalankan oleh para pemeluknya. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an tentang sinergi antara rukun shalat dan zakat dalam mengatasi persoalan hidup. Zakat dan shalat menjadi tawaran solusi dahsyat  yang Allah berikan kepada hambanya. Zakat sebagai penjaga hubungan dengan manusia dan shalat sebagai penjaga hubungan dengan Allah secara vertikal.

Perjalanan filantropi Islam di Nahdlatul Ulama secara konsisten didakwahkan dan disosialisasikan dan ini menjadi komitmen semua warga Nahdliyin dalam memeluk ajaran Islam sampai sekarang. Kebangkitan zakat dan gairah perzakatan di Indonesia pun tumbuh. Atas dasar Undang-Undang Zakat nomor 38 tahun 1999, lembaga amil zakat, infak dan sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dibentuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Donoyudan Solo tahun 2005. Dari situ perkembangan filantropi Islam di tubuh Nahdlatul Ulama juga mengalami perkembangan yang menggembirakan.

Perjalanan lembaga filantropi di Nahdlatul Ulama yang dinamakan LembagaAmil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) mengalami perkembangan dari waktu ke waktu semenjak didirikan secara resmi di Muktamar Donoyudan Solo, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Fathurrahman Rouf. Sebagai lembaga baru di tubuh Nahdlatul Ulama, LAZISNU sudah mengumpulkan rata-rata Rp800 juta per tahun, dari tahun 2004 sampai dengan 2010.

Perkembangan mulai dirasakan ketika fase kedua setelah Muktamar di Makassar, LAZISNU dipimpin oleh KH. Masyhuri Malik, pada perkembangan di era ini LAZISNU berkembang dengan performa manajemen yang lebih modern. Potret yang bisa kita lihat dari perolehan LAZISNU setiap tahunnya di rata-rata Rp6 miliar dimulai dari 2010 sampai dengan 2015.

Kemudian selepas Muktamar ke-33 NU di Jombang, LAZISNU dipimpin oleh Syamsul Huda SH Harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat karena beban yang harus ditanggung sebagai Lembaga Zakat Nasional. Lembaga Zakat Nasional seperti LAZISNU harus mampu mengumpulkan perolehan fundraising minimal Rp50 miliar. Tapi alhamdulillah pada awal 2016, beban yang diwajibkan kepada LAZISNU dalam perolehan minimal satu tahun Rp50 miliar sudah terpenuhi. Sekarang, saatnya LAZISNU yang melakukan rebranding NU CARE-LAZISNU harus mengerakkan spirit NU dalam kesadaran “berbagi bagi sesama.”

Sosialisasi tentang pentingnya filantropi selalu digalakkan sampai sekarang. Filantropi berbeda dari charity. Filantropi lebih terlihat sebagai gagasan yang terstruktur dan teratur ketimbang hanya memberi kepada yang lain dan terlebih kepengen mendapatkan dampak secara langsung bagi para donatur (direct impact). 

Secara umum, konsep zakat itu harus diatur supaya teratur. Nidham (manajemen) menjadi hal yang sangat penting di warga Nahdliyin. “Kalau sudah ngasih ya sudah yang lillahita’ala,” sering ada ucapan begitu. Ini seolah-olah melegitimasi tentang tidak penting melaporkan akan kinerja yang dilakukan oleh para amilin. Padahal, pelaporan tersebut sama sekali bukan hendak menghilangkan aspek keikhlasan, melainkan sebagai konsekuensi logis nidham itu.

Kini LAZISNU diuji dan ditantang dengan harus menunjukkan keberanian untuk menjadi Lembaga Zakat Nasional, berdasar Undang-Undang 23 tahun 2011. Sesungguhnya, Undang-Undang 23 tahun 2011 ada plus dan minus dalam era kebangkitan gerakan filantropi NU. Tuntutan untuk eksis menjadi lembaga yang trusted, kredibel, dan tranparan menjadi tuntutan tidak hanyaUndang-Undang, tapi juga para donatur dan masyarakat. Pimpinan organisasi para ulama ini, Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin menggelorakan “Gerakan NU Berzakat Menuju Kemandirian Umat”. Ini bukan tidak ada sebab, tapi gerakan ini justru yang menjadi embrio dan spirit bagi gerakan zakat di warga Nahdliyin.

Tiga Titik Tolak

Ada tiga hal yang harus menjadi titik tolak bangkitnya filatropi NU, pertama adalah memberikan pengertian kepada masyarakat Nahdliyin tentang pentingnya berjamaah, tidak hanya berjamaah shalat, tahlilan, zikiran saja tapi harus diperluas dan diperlebar jamaah terlebih berjamaah untuk aksi berbagi kepada sesama. Masyarakat modern ini lebih suka kalau ada kegiatan aksi, bukan hanya kegiatan seremoni. Membangkitkan jamaah dengan aksi kepada sesama ini harus menjadi spirit yang digelorakan di  warga Nahdliyin. Berjamaah atau sinergi ini akan mejadi lebih sempurna jika ulama, umara (pemerintah), aghniya (kalangan berpunya) dan umat menjadi satu kesatuan dalam menyelesaikan masalah bersama terlebih isu yang menjadi pesan utama Muktamar Jombang, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Kedua, adalah pentingnya manajemen yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pentingnya manajemen ini yang kemudian Lazisnu Pusat berinisiatif untuk menstandarkan manajemen dengan menggunakan ISO 9001-2015 dengan nomor sertifikat izin 49224. Ini membuktikan komitmen yang tinggi terhadap kebangkitan filantropi di NU untuk menjadi yang lebih baik dalam rangka mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Betapa pentingnya motto “kerjakan apa yang ditulis, dan tulis apa yang akan dikerjakan,” itulah manajemen. Semua harus berbasis data, bukan hanya katanya atau ucapan mulut. 

Ketiga, pergerakannya harus dibangkitkan lagi, harakah an-nahdliyyah lizzakah, itulah gerakan yang dimotori Rais ‘Aam PBNU, supaya komitmen membangun NU lewat jalur filantropi menjadi lebih hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita mulia para pendiri NU. Pelopor sekaligus model percontohan yang di gerakkan almarhum Abuya KH. Abdul Basit Sukabumi menjadi contoh yang patut di tiru dan diteladani. Abuya mampu membuat konsep Allah yang termaktub didalam Al Qur’an dan Hadist Baginda Nabi Muhammad SAW menjadi membumi dan gampang di kerjakan dan diaplikasina umat dalam kehidupan sehari-hari. Kekuatan sedekah mampu memberikan manfaat kepada umat dengan pola yang sangat sederhana dan bisa di aplikasikan di mana saja kita berapa. Konsep membumikan sedekah merupakan konsep lama yang dalam Bahasa sederhana kita sehari-hari kita sebut denga  konsep gotong royong. Sedekah atau gotong royong menjadi mahluk mulia yang mampu memberikan manfaat bagi umat jika dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong (sedekah berjamaah). 

Semoga Allah memberikan kekuatan dan keberkahan NU Care-LAZISNU dalam memegang amanat yang mulia untuk memberikan manfaat kepada umat. Amiin.


Penulis adalah Direktur Fundraising NU Care



Sumber : NU Online
Baca Selengkapnya→

Kamis, 02 Februari 2017

Oleh KH A Mustofa Bisri
Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).

***

Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya?”

***

Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”

***

Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan.

Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah.

Selawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu! 

.: Artikel ini dinukil dari akun Facebook pribadi KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) yang kini menjadi salah satu Mustasyar PBNU. Gus Mus mempublikasikan tulisan ini pada 26 Februari 2010.


Sumber : NU Online

Pemimpin yang Rendah Hati

Unknown   at  Februari 02, 2017  No comments

Oleh KH A Mustofa Bisri
Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).

***

Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya?”

***

Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”

***

Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan.

Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah.

Selawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu! 

.: Artikel ini dinukil dari akun Facebook pribadi KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) yang kini menjadi salah satu Mustasyar PBNU. Gus Mus mempublikasikan tulisan ini pada 26 Februari 2010.


Sumber : NU Online
Baca Selengkapnya→

::: Simak berbagai info NU Online melalui media sosial Group Facebook Ansor Trenggalek Klik DISINI ::: Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email ansorcabangtrenggalek@gmail.com :::: Info pemasangan iklan, hubungi / sms 0813-3404-2776 :::

Selamat Datang!

Keluarga Besar

KONTAK KAMI

Nama

Email *

Pesan *

INFO SIGAP

INFO KARTANU

TV SEMBILAN

COPYRIGHT © 2016 ANSORUNA TRENGGALEK. By Myanto Mahardika Supported By ANSORUNAPublished..Blogger Templates
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.